Dengan Semangat Halal Bihalal, Wujudkan Kebersamaan Membangun Paser Menuju Paser MAS (Maju, Adil, Sejahtera)

Oleh: Kasrani Latief, Sekretaris DPMD Kabupaten Paser

Halal bihalal merupakan tradisi masyarakat Indonesia yang dilakukan sesudah hari lebaran baik di kalangan instansi pemerintah, perusahaan dan dunia pendidikan. Kegiatan ini tentu saja menjadi tradisi tahunan yang unik dan tetap dipertahankan serta dilestarikan. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling berbagi kasih sayang pasca lebaran.

Dalam kacamata Islam, halal bihalal bertujuan untuk menghormati sesama manusia dalam bingkai silaturahmi. Halal bihalal dilihat dari sisi silaturahmi dapat menjadi perantara untuk memperluas rezeki dan memperpanjang umur, sebagaimana keterangan sebuah hadis dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia bersilaturahmi”.

Di Mekkah dan Madinah, tradisi halal bihalal tidak dikenal. Karena itu, bisa dikatakan halal bihalal made in Indonesia atau ciptaan umat Islam Indonesia atau dalam bahasa Prof. Dr. Quraish Shihab adalah hasil pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat Asia Tenggara.

Konon, tradisi halal bihalal pertama kali dirintis oleh Mangkunegara I, lahir 08 April 1725, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah shalat Idul Fitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Dalam budaya Jawa, seseorang yang sungkem kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Tujuan sungkem adalah sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.

Sumber lainnya adalah tradisi halal bihalal lahir bermula pada masa revolusi kemerdekaan, pada tahun 1948 Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja ada gejala disintegrasi bangsa serta elit politik saling jegal enggan duduk berdampingan. Ditambah dengan pemberontakan di mana-mana mulai dari gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII), Partai Komunis Indonesia atau PKI Madiun. Kondisi semakin tak kondusif membuat Presiden Soekarno meminta bantuan kepada KH Abdul Wahab Chasbullah atau akrab disapa Mbah Wahab salah satu tokoh pendiri NU.

Menurut penjelasan yang disampaikan KH Masdar Farid Mas’udi, Mbah Wahab didatangkan ke Istana untuk dimintai saran dan pendapat untuk mengatasi situasi politik di Indonesia saat itu. Solusi yang ditawarkan oleh Mbah Wahab kepada Presiden Soekarno yakni untuk menyelenggarakan silaturahim dengan istilah Halal Bihalal mengingat momen yang tepat mendekati Idul Fitri.

Solusi yang ditawarkan Mbah Wahab akhirnya terealisasi, Presiden Soekarno mengundang seluruh tokoh politik datang ke Istana Negara untuk silaturahim yang bertajuk halal bihalal. Inilah titik balik mereka satu meja dan menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.

Istilah halal bihalal yang dicetuskan KH Abd Wahab Chasbullah dengan analisa pertama yakni thalabu halâl bi tharîqin halâl  yakni mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua yaitu halâl “yujza’u” bi halâl adalah pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.

Dari penjelasan yang diungkapkan oleh Prof Quraish Shihab seorang Pakar Tafsir Al-Qur’an, lewat karyanya Membumikan Al-Qur’an (1999). Konsep halal bihalal yang dapat  dimaknai dari tiga aspek.  Pertama Aspek Hukum Fiqih, halal bihalal artinya   membuat sikap kita yang semula haram atau berdosa menjadi halal dan terbebas dari dosa.  Kedua Aspek bahasa atau linguistik, halal berasal dari kata halla atau halala, secara umum maknanya menyelesaikan masalah atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, bahkan melepaskan ikatan yang membelenggu. Sehingga halal bihalal dapat dipahami dengan tujuan menyambung yang tadinya putus tersambung kembali melalui maaf-memaafkan pada momen Idul Fitri.

Ketiga,  Tinjauan Qur’ani. halal yang dituntut adalah halal yang thayyib atau yang baik lagi menyenangkan. Sehingga Al Qur’an menuntut aktivitas yang dilakukan oleh umat muslim adalah sesuatu yang menyenangkan semua pihak. Al-Qur’an tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H, Mohon Maaf lahir dan Bathin, Dengan semangat Halal Bihalal, mari kita wujudkan membangun Indonesia  dan khususnya Kabupaten Paser  dengan kebersamaan menuju Paser MAS (maju, Adil, Sejahtera)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

https://iainpalopo.ac.id/https://perbarindo.org/https://itj.jakartamrt.co.id/https://www.delejcotebavi.com/https://karir.itb.ac.id/https://heartlandcomputer.com/https://www.beritabadung.id/https://www.bsn.go.id/https://kan.or.id/