Kasus Stunting di Kabupaten Paser Menurun, IDI sebut penanganan harus lintas sektor

Tana Paser, MCKabPaser- Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Paser Amir Faisol mengatakan kasus stunting atau gizi kronis di Kabupaten Paser dalam periode 5 tahun terakhir sejak 2017 mengalami penurunan.

Hasil survei Pemantauan Status Gizi (PSG) Dinas Kesehatan Paser, tahun 2017 diketahui sebanyak 31,8 persen dari 34.OOO anak di Paser, atau sekitar 10.812 anak menderita stunting.Amir mengatakan berdasarkan data dari Dinas Kesehatan, tercatat di akhir 2021 angka stunting yakni 17 persen dari jumlah balita di Kabupaten Paser.

“Kasus stunting mengalami penurunan sejak tahun 2017. Terakhir tahun 2021 17 persen anak menderita stunting,” kata Amir Faisol, Rabu (16/03/2022).

Amir menerangkan pada tahun 2024 pemerintah pusat menekankan agar angka kasus stunting dapat ditekan di bawah 14 persen.

“Kasus di berbagai daerah bergantung situasi prevalensi (kejadian) masih ada yang cukup tinggi, sedang, dan rendah. Kami upayakan menekan kasus stunting,” ucap Amir.

Upaya Pemda Paser dalam menekan kasus stunting, kata Amir, dengan membentuk sebanyak 159 Tim Pendamping Keluarga (TPK) di setiap desa guna mencegah penyakit tersebut.

“Ada 159 tim, setiap tim terdiri dari 3 orang di masing-masing desa. Sehingga total pendamping di 139 desa dan 5 kelurahan ada 576 orang,” katanya.

Tim dimaksud terdiri dari bidan desa, sub Pembantu Pembina Keluarga Berencana (PPKB), dan PKK Desa. Tim yang ditunjuk Kepala Desa itu sudah dibentuk, dan selanjutnya akan diberikan pembinaan teknis.

Tugas tim adalah melakukan kunjungan rumah dengan memberikan edukasi dan penyuluhan terhadap calon pengantin, ibu hamil, ibu melahirkan, ibu menyusui, dan ibu yang anaknya di bawah dua tahun tentang pencegahan stunting.

Sementara Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Paser dr. Ahmad Hadiwijaya, Sp.A, M.Kes meminta agar penanganan stunting dilakukan lintas sektor bukan hanya tugas dokter, tenaga kesehatan, ataupun Dinas Kesehatan.”Penanganan stunting perlu melibatkan lintas sektor meski tetap tenaga kesehatan sebagai leading sektor,” kata Hadiwijaya.

Stunting, kata Hadiwijaya, dapat ditangani dengan mengajak masyarakat untuk menerapkan pola hidup bersih, pemberian asupan gizi cukup, dan perbaikan pola asuh.

Selain itu masyarakat juga harus dipastikan menerima pelayanan kesehatan, layanan air minum dan sanitasi yang baik.

Hadiwijaya tidak menampik kasus stunting kebanyakan dari masyarakat yang berada di tingkat ekonomi rendah atau kategori masyarakat miskin.

“Namun semua itu bisa diatasi dengan pemberian edukasi yang tepat oleh tenaga kesehatan di tingkat paling bawah yang dekat dengan masyarakat,” ujarnya.

Pewarta: Hutja, Editor: Ropi’i

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *