DP2KBP3A Paser Berupaya Turunkan Angka Penangguhan Pernikahan di Kalangan Pelajar

Tana Paser – Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Paser berupaya menurunkan angka dispensasi atau penangguhan pernikahan yang terjadi di kalangan pelajar.

Kabid Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan DP2KBP3A Paser, Kasrani Lathief mengatakan sebanyak 95 anak di bawah umur sepanjang tahun 2022 mengajukan dispensasi atau penangguhan pernikahan dikarenakan hamil di luar nikah.

“Angka ini tertinggi se-kaltim, angka ini menjadi perhatian dan perlu dilakukan pencegahan dini,” kata Kasrani, Kamis (26/01/2023).

Menurut Kasrani berbagai macam upaya pencegahan dini agar kasus hamil di luar nikah tidak menimpa pelajar atau anak di bawah umur.

“Tentunya penguatan moral penting, pelajaran agama bukan hanya sebagai teori, tapi perlu mendapat perhatian lebih,” ucapnya.

Selanjutnya, kata Kasrani, harus terpenuhinya pendidikan formal bagi anak minimal hingga tingkat SMA. Riset menunjukkan, meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak.

Kemudahan mendapat akses pendidikan, sebut Kasrani, membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan dalam mencari pekerjaan sebagai persiapan menghidupi keluarga.

Kasrani mengemukakan yang tidak kalah penting, selanjutnya, yaitu sosialisasi tentang pendidikan seks.

“Kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan dini di Indonesia,” ujarnya.

Pencegahan dini terhadap masalah ini, bukan hanya dilakukan oleh anak. Peran orangtua, kata Kasrani, juga penting dalam memberikan edukasi kepada anak-anak.

Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada pelajar terkait konsekuensi negatif dari pernikahan dini.
“Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah dini,” sebut Kasrani.

Pemda Paser, kata Kasrani, mendorong orangtua, untuk tidak menikahkan anaknya sebelum usia 19 tahun. Hal itu telah diatur dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014.

“Kami juga mendorong ada kesetaraan gender, karena perempuan paling rentan mengalami pernikahan. Ada anggapan masyarakat perempuan lebih siap menikah jika sudah melakukan pekerjaan rumah tangga, dan laki-laki dibebaskan menikah dan bekerja,” terang Kasrani.

Terakhir, Kasrani mendorong adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang wajib belajar 12 tahun dengan mencantumkan sanksi tertentu. Sepintas ini terkesan memaksa, tapi memaksa untu kebaikan.

“Memaksa agar setiap anak Indonesia minimal menyelesaikan wajib belajar 12 tahun atau menamatkan bangku SLTA,” katanya.

Pewarta: Hutja, Editor: Ropi’i

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *